Tafsir Surat Al-Maidah ayat 103 , Ma Jaala Allahu Min Bahiratin Wa La Saibatin

  1. Jalalain
  2. Mokhtasar
  3. Quraish
  4. Al-tahlili
Bahasa Indonesia , Terjemahan - Tafsir surat Al-Maidah ayat 103 | Ma Jaala Allahu Min Bahiratin Wa La Saibatin - Suci Quran (indonesia) Koran - Al-Qur'an terjemahan, Tafsir Jalalayn & English, Indonesian - Tafsir Muntakhab .
  
   

﴿مَا جَعَلَ اللَّهُ مِن بَحِيرَةٍ وَلَا سَائِبَةٍ وَلَا وَصِيلَةٍ وَلَا حَامٍ ۙ وَلَٰكِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۖ وَأَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ﴾
[ المائدة: 103]

Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. [Maidah: 103]

Ma Jaala Allahu Min Bahiratin Wa La Saibatin Wa La Wasilatin Wa La Hamin Wa Lakinna Al-Ladhina Kafaru Yaftaruna Ala Allahi Al-Kadhiba Wa Aktharuhum La Yaqiluna

Tafsir Al-mokhtasar


Allah menghalalkan hewan ternak, dan Dia tidak pernah mengharamkan hewan ternak yang diharamkan oleh orang-orang musyrik atas diri mereka untuk menghormati berhala-berhala mereka.
Seperti hewan baḥīrah ( yaitu unta yang dipotong telinganya apabila sudah melahirkan dalam jumlah tertentu ), sāibah ( yaitu unta yang sudah mencapai usia tertentu akan dibiarkan bebas sebagai persembahan untuk berhala-berhala mereka ), waṣīlah ( yaitu unta yang melahirkan unta betina kemudian melahirkan unta betina lagi ) dan ḥāmī ( yaitu unta jantan yang ditugaskan mengawini unta betina sampai melahirkan anak-anak unta dalam jumlah tertentu ).
Akan tetapi orang-orang kafir telah berdusta dan mengada-ada bahwa Allah telah mengharamkan hewan-hewan tersebut.
Dan kebanyakan orang-orang kafir tidak bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan serta halal dan haram.


Terjemahan - Muhammad Quraish Shihab

Allah tidak mengizinkan kalian untuk mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan seperti, misalnya, memotong telinga unta dan tidak mau menggunakannya yang kemudian kalian beri nama bahîrah.
Atau seperti membiarkan hewan itu berdasarkan suatu nazar yang kemudian kalian namakan sâ’ibah.
Atau, bisa juga, seperti mengharamkan domba jantan dari betinanya dan mempersembahkan yang jantan itu kepada patung-patung, sampai akhirnya ketika domba betina melahirkan anak jantan dan betina yang kalian beri nama washîlah, di mana anak jantannya itu tidak kalian sembelih.
Allah juga tidak pernah membolehkan kalian untuk tidak memanfaatkan unta jantan yang telah mengawini sepuluh unta betina yang kalian beri nama hâm! Allah sama sekali tidak membolehkan semua itu! Akan tetapi orang-orang kafir menciptakan kebohongan dan menisbatkannya kepada Allah.
Kebanyakan mereka tidak berpikir ( 1 ).
( 1 ) Orang-orang jahiliah mempunyai kebiasaan mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan Allah.
Di antaranya: a.
Apabila seekor unta betina melahirkan lima ekor anak dan yang terakhir adalah jantan, kuping unta betina itu dipotong, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diusir dari ladang gembalaan.
Unta betina itu kemudian dinamakan bahîrah, yaitu yang terpotong telinganya.
b.
Di antara mereka ada yang bernazar dengan mengatakan, "Jika saya tiba dari perjalanan dengan selamat atau tidak terjangkit penyakit, maka unta saya menjadi sâ’ibah." Sâ’ibah sama dengan bahîrah.
c.
Jika seekor domba betina beranak betina, anak betina itu diambil pemiliknya.
Tetapi, apabila anak yang lahir itu jantan, ia akan dipersembahkan kepada tuhan mereka.
Akan tetapi, apabila domba itu melahirkan jantan dan betina, anak yang jantan tidak disembelih dan dipersembahkan kepada tuhan mereka.
Mereka malah menyembelih anak betina dengan anggapan bahwa anak betina itu cukup mewakili untuk "menyampaikan" persembahan itu kepada tuhan.
Anak betina itu kemudian mereka namakan washîlah ( asal kata washala: ’menyambungkan’, ’menyampaikan’ ).
d.
Apabila unta jantan telah menghasilkan sepuluh anak betina, mereka mengatakan, "Punggung unta itu harus dilindungi dan tidak boleh ditunggangi atau dimanfaatkan untuk mengangkut sesuatu." Unta seperti itu dikenal dengan nama hâm ( asal kata hamâ: ’melindungi )

Tafsir al-Jalalain


( Tidak sekali-kali menjadikan ) mensyariatkan ( Allah akan adanya bahirah, saibah, wasilah dan ham ) sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang jahiliah.
Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Said bin Musayyab yang telah mengatakan bahwa bahirah ialah unta betina yang air susunya dihadiahkan untuk berhala-berhala, maka tidak ada seorang pun yang berani memerah air susunya.
Saibah ialah unta betina yang mereka lepaskan begitu saja dibiarkan demi untuk berhala-berhala mereka, maka unta tersebut tidak boleh dibebani sesuatu pun.
Wasilah ialah unta betina yang sewaktu melahirkan anak unta pertama kalinya betina setelah ia beranak lagi secara kembar yang kedua-duanya betina; induk unta itu dibiarkan terlepas bebas jika anak-anaknya itu tidak ada yang jantan yang memisahkan antara kedua anaknya itu.
Hal ini mereka lakukan demi berhala-berhala mereka.
Dan ham ialah unta pejantan yang dipekerjakan dalam masa yang telah ditentukan dan jika masanya telah habis lalu mereka membiarkannya bebas demi untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala sesembahan mereka.
Selain dari itu mereka membebaskannya dari segala muatan dan beban hingga ia tidak lagi disuruh membawa apa pun dan nama lain dari jenis unta itu ialah hami.
( Akan tetapi orang-orang kafir selalu membuat kedustaan terhadap Allah ) dalam hal tersebut kemudian mereka mengaitkannya kepada Allah ( dan kebanyakan mereka tidak mengerti ) bahwa perkara tersebut merupakan kedustaan karena mereka dalam hal ini hanyalah mengikuti apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Tafseer Muntakhab - Indonesian

Allah tidak mengizinkan kalian untuk mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan seperti, misalnya, memotong telinga unta dan tidak mau menggunakannya yang kemudian kalian beri nama bahîrah.
Atau seperti membiarkan hewan itu berdasarkan suatu nazar yang kemudian kalian namakan sâ'ibah.
Atau, bisa juga, seperti mengharamkan domba jantan dari betinanya dan mempersembahkan yang jantan itu kepada patung-patung, sampai akhirnya ketika domba betina melahirkan anak jantan dan betina yang kalian beri nama washîlah, di mana anak jantannya itu tidak kalian sembelih.
Allah juga tidak pernah membolehkan kalian untuk tidak memanfaatkan unta jantan yang telah mengawini sepuluh unta betina yang kalian beri nama hâm! Allah sama sekali tidak membolehkan semua itu! Akan tetapi orang-orang kafir menciptakan kebohongan dan menisbatkannya kepada Allah.
Kebanyakan mereka tidak berpikir ( 1 ).
( 1 ) Orang-orang jahiliah mempunyai kebiasaan mengharamkan hal-hal yang tidak diharamkan Allah.
Di antaranya: a.
Apabila seekor unta betina melahirkan lima ekor anak dan yang terakhir adalah jantan, kuping unta betina itu dipotong, tidak boleh ditunggangi dan tidak boleh diusir dari ladang gembalaan.
Unta betina itu kemudian dinamakan bahîrah, yaitu yang terpotong telinganya.
b.
Di antara mereka ada yang bernazar dengan mengatakan, "Jika saya tiba dari perjalanan dengan selamat atau tidak terjangkit penyakit, maka unta saya menjadi sâ'ibah." Sâ'ibah sama dengan bahîrah.
c.
Jika seekor domba betina beranak betina, anak betina itu diambil pemiliknya.
Tetapi, apabila anak yang lahir itu jantan, ia akan dipersembahkan kepada tuhan mereka.
Akan tetapi, apabila domba itu melahirkan jantan dan betina, anak yang jantan tidak disembelih dan dipersembahkan kepada tuhan mereka.
Mereka malah menyembelih anak betina dengan anggapan bahwa anak betina itu cukup mewakili untuk "menyampaikan" persembahan itu kepada tuhan.
Anak betina itu kemudian mereka namakan washîlah ( asal kata washala: 'menyambungkan', 'menyampaikan' ).
d.
Apabila unta jantan telah menghasilkan sepuluh anak betina, mereka mengatakan, "Punggung unta itu harus dilindungi dan tidak boleh ditunggangi atau dimanfaatkan untuk mengangkut sesuatu." Unta seperti itu dikenal dengan nama hâm ( asal kata hamâ: 'melindungi' ).

Tafsir Al-wajiz


Ayat ini menjelaskan tentang kaum kafir Mekah yang membuatbuat kedustaan kepada Allah.
Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi, dan tidak boleh diambil air susunya.
Allah juga tidak mensyariatkan saibah, yaitu unta betina yang dibiarkan bebas karena suatu nazar.
Masyarakat Arab Jahiliah ketika hendak melakukan sesuatu atau perjalanan jauh biasa bernazar menjadikan unta mereka sa’ibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat.
Tidak ada juga syariat tentang wasilah, yaitu jika seekor domba betina melahirkan anak kembar dampit, maka anak yang jantan disebut wasilah; ia tidak boleh disembelih, melainkan harus dipersembahkan kepada berhala.
Allah juga tidak mensyariatkan ham, yaitu unta jantan yang tidak boleh diganggu lagi karena telah membuahi unta betina sepuluh kali.
Perlakuan terhadap bahirah, sa’ibah, washilah, dan ham adalah kepercayaan Arab Jahiliah; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah dengan meyakini bahwa semuanya merupakan ketetapan Allah; dan kebanyakan mereka tidak mengerti sedikit pun makna dan maksud dari mitologi tersebut.

Tafsir Al-tahlili


Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak pernah menetapkan haramnya beberapa hal yang berlaku dalam adat jahiliah seperti haramnya bermacam-macam hewan sehingga mereka tidak makan dagingnya.
Hanya mereka sendiri saja yang menetapkan haramnya makan daging hewan-hewan tersebut.
Tetapi mereka mengatakan bahwa ketentuan itu datang dari Allah.
Hewan-hewan tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Baḥīrah, yaitu unta betina yang telah melahirkan anak lima kali, dan anaknya yang kelima betina.
Menurut adat jahiliah, unta betina semacam itu mereka belah telinganya, kemudian mereka lepaskan, dan tidak boleh lagi dipakai untuk kendaraan, dan tidak boleh diambil air susunya.
b.
Sāibah, yaitu unta betina yang dilepas pergi ke mana saja, tidak boleh dipakai untuk kendaraan atau membawa beban, dan tidak boleh diambil bulunya, dan tidak boleh pula diambil air susunya, kecuali untuk tamu.
Menurut adat jahiliah, ini dilakukan untuk menunaikan nazar.
Apabila seseorang di antara mereka melakukan sesuatu pekerjaan berat, atau perjalanan yang jauh, maka mereka bernazar, bahwa ia akan menjadikan untanya sebagai sāibah, jika pekerjaannya itu berhasil dengan baik, atau perjalanannya itu berlangsung dengan selamat.
c.
Waṡilah, yaitu kambing atau unta betina yang lahir kembar dengan saudaranya yang jantan.
Menurut adat jahiliah juga, apabila seekor kambing betina melahirkan anak kembar jantan dan betina, dan yang betina mempunyai anak betina lagi, maka anaknya yang betina itu disebut “ waṡilah ”, tidak boleh disembelih, dan tidak boleh dipersembahkan kepada berhala.
d.
Ḥām, ialah unta jantan yang telah berjasa menghamilkan unta betina sepuluh kali.
Menurut adat jahiliah, unta jantan semacam itu tidak boleh lagi diganggu, misalnya disembelih, atau digunakan untuk maksud apapun, tetapi harus dipelihara dengan baik.
Ia tak boleh dicegah untuk minum air atau makan rumput dimanapun yang disukainya di mana saja.
Demikianlah antara lain beberapa adat jahiliah mengenai bermacam-macam hewan yang tidak boleh dimakan.
Mereka mengatakan, bahwa ketentuan itu adalah dari Allah, dan menjadi syariat agama.
Maka dalam ayat ini Allah membantahnya, dan menegaskan bahwa orang-orang kafir sendiri yang menetapkan ketentuan itu, dengan demikian, mereka telah mengadakan kebohongan terhadap Allah.
Di kalangan masyarakat muslim Indonesia, fenomena antropologi yang berkembang di lingkungan orang-orang Arab jahiliah ini muncul dalam bentuk pantangan-pantangan, pamali-pamali, dan lain-lain.
Tidak sedikit larangan atau pantangan tertentu demikian mengakar kuat di masyarakat muslim, padahal masalahnya sama sekali tidak memiliki dasar ajaran agama.
Hal-hal yang dipamalikan itu semata-mata merupakan produk tradisi setempat turun temurun yang kebenarannya tidak didukung oleh agama.
Informasi antropologis yang disampaikan Allah dalam ayat 103-104 Surah al-Mā′idah/5 tersebut mengandung pelajaran yang sangat penting bagi masyarakat muslim di mana pun untuk tidak terus memelihara pantangan-pantangan, karena hal itu tidak dilarang Allah.
Jika hal semacam itu terus berlanjut berarti masyarakat itu telah melakukan kedurhakaan kepada Allah.
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa kebanyakan orang-orang kafir tidak menggunakan akal pikirannya.
Sebab, jika mereka mau menggunakan akal sehat mereka, niscaya mereka tidak akan membuat kebohongan terhadap Allah, dan juga tidak akan mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarīr, Abu Hurairah telah berkata, “ Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Akṡam bin al-Jaun, “Hai Akṡam, neraka telah diperlihatkan kepadaku, maka tampak olehku dalam neraka itu Amru bin Luḥay, Ibnu Qam’ah bin Khinzif sedang menarik ususnya.
Maka aku tidak melihat seorang pun selain engkau yang lebih mirip dengannya. ”
Maka Akṡam berkata, “ Aku merasa takut kalau-kalau kemiripanku dengannya akan mendatangkan suatu bahaya atas diriku. ” Rasulullah menjawab, “ Tidak, sebab engkau mukmin, sedangkan dia kafir; dialah orang pertama yang mengubah agama Nabi Ismail, dan dialah orang pertama yang menetapkan ketentuan tentang baḥīrah, sāibah, waṡīlah dan ḥām. ”
Dari riwayat ini dapat diambil pengertian bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam syariat agama, misalnya mengharamkan makanan yang dihalalkan Allah, atau membuat tradisi yang bertentangan dengan agama, atau mengadakan peribadatan yang tidak ditetapkan oleh agama sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh ridaNya, maka perbuatan tersebut sama dengan perbuatan ‘Amru bin Luḥay.
Padahal cara-cara yang sah untuk menyembah Allah telah ditetapkanNya dan telah disampaikan oleh Rasul-Nya.
Maka setiap peribadatan dan penetapan hukum haruslah berdasarkan nash Al-Qur′an atau ketetapan Rasul.
Seseorang tidak boleh menambah atau mengurangi menurut kemauannya sendiri.


Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahiirah, saaibah, washiilah dan haam. Akan - Terjemahan

English Türkçe Indonesia
Русский Français فارسی
تفسير Bengali Urdu

ما جعل الله من بحيرة ولا سائبة ولا وصيلة ولا حام ولكن الذين كفروا يفترون على الله الكذب وأكثرهم لا يعقلون

سورة: المائدة - آية: ( 103 )  - جزء: ( 7 )  -  صفحة: ( 124 )

transliterasi Indonesia

mā ja'alallāhu mim baḥīratiw wa lā sā`ibatiw wa lā waṣīlatiw wa lā hāmiw wa lākinnallażīna kafarụ yaftarụna 'alallāhil-każib, wa akṡaruhum lā ya'qilụn



⚠️Disclaimer: there's no literal translation to Allah's holy words, but we translate the meaning.
We try our best to translate, keeping in mind the Italian saying: "Traduttore, traditore", which means: "Translation is a betrayal of the original text".

Ayats from Quran in Bahasa Indonesia

  1. Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan
  2. Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk
  3. Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad
  4. Dan juga pada (kisah) Aad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan,
  5. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Allah. Dan Sesungguhnya
  6. dan Kami ciptakan untuk mereka yang akan mereka kendarai seperti bahtera itu.
  7. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.
  8. dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk
  9. Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
  10. yang sangat menghalangi kebajikan, melanggar batas lagi ragu-ragu,

Surah Al-Qur'an dalam bahasa Indonesia :

Al-Baqarah Al-'Imran An-Nisa'
Al-Ma'idah Yusuf Ibrahim
Al-Hijr Al-Kahf Maryam
Al-Hajj Al-Qasas Al-'Ankabut
As-Sajdah Ya Sin Ad-Dukhan
Al-Fath Al-Hujurat Qaf
An-Najm Ar-Rahman Al-Waqi'ah
Al-Hashr Al-Mulk Al-Haqqah
Al-Inshiqaq Al-A'la Al-Ghashiyah

Unduh surat dengan suarh qari paling terkenal:

surah mp3 : choose the reciter to listen and download the chapter Complete with high quality
surah   in the voice of Ahmed El Agamy
Ahmed El Agamy
surah   in the voice of Bandar Balila
Bandar Balila
surah   in the voice of Khalid Al Jalil
Khalid Al Jalil
surah   in the voice of Saad Al Ghamdi
Saad Al Ghamdi
surah   in the voice of Saud Al Shuraim
Saud Al Shuraim
surah   in the voice of  Al Shatri
Al Shatri
surah   in the voice of Abdul Basit Abdul Samad
Abdul Basit
surah   in the voice of Abdul Rashid Sufi
Abdul Rashid Sufi
surah   in the voice of Fares Abbad
Fares Abbad
surah   in the voice of Maher Al Muaiqly
Maher Al Muaiqly
surah   in the voice of Muhammad Siddiq Al Minshawi
Al Minshawi
surah   in the voice of Al Hosary
Al Hosary
surah   in the voice of Al-afasi
Mishari Al-afasi
surah   in the voice of Nasser Al Qatami
Nasser Al Qatami
surah   in the voice of Yasser Al Dosari
Yasser Al Dosari



Sunday, December 22, 2024

لا تنسنا من دعوة صالحة بظهر الغيب